Kamis, 19 Juni 2008

Manajemen Perubahan: Analisis Kasus Kebijakan Ekspor Beras Dan Ketahanan Pangan

Manajemen Perubahan: Analisis Kasus Kebijakan Ekspor Beras Dan Ketahanan Pangan

 

A. Ringkasan Situasi
Akhir-akhir ini melonjaknya2 harga beras di pasaran internasional memicu munculnya wacana ekspor beras bagi Indonesia. Beberapa kelompok beranggapan bahwa masyarakat perlu memanfaatkan peluang itu karena produksi beras kita akan melimpah berkaitan dengan tibanya panen raya. Kita tidak memungkiri bahwa peluang itu kini ada di depan mata. Di pasar internasional, harga beras saat ini merupakan yang tertinggi sejak 34 tahun terakhir, yakni 700 dolar AS per metrik ton atau naik 50% dibandingkan dengan pada awal tahun. Harga beras Thailand bahkan sudah naik 72% pada periode yang sama.

Lonjakan harga tersebut tidak lepas dari wacana perubahan iklim dan konversi bahan baku makanan menjadi bahan bakar kendaraan (biofuel). Perubahan iklim telah mengancam pertumbuhan produksi di mana-mana, termasuk negara produsen beras seperti, China Vietnam, India, dan Thailand. Negara-negara tersebut mulai mengurangi ekspornya pada bulan ini, demi mengamankan cadangan beras di negaranya sendiri. Disisi lain permintaan juga dipicu oleh adanya konversi gandum, padi, minyak sawit dan tebu menjadi bahan bakar kendaraan di negra-negara eropa (lihat: http//:green-blog.com). Sehingga hal tersebut meningkatkan harga beli beras dunia seperti yang terlihat pada tabel 1 yang dikeluarkan oleh USDA (United states departement of agriculture). 
 

Tabel 1Harga Dunia Beras


  Sumber: WWW. Fsa.usda.gov

 Peluang dan Ancaman

Rencana ekspor beras mempunyai dampak positif dan negatif: dampak positif (peluang) terlihat dari produksi beras di dalam negeri surplus, yang berarti terjadi peningkatan kesejahteraan petani, peningkatan kemandirian bangsa, kesempatan mendapatkan devisa serta meningkatkan harkat martabat bangsa sebagai negara agraris yang cukup lama tidak merasakan manfaat dari harga jual bahan pangan yang cukup layak. Namun, disisi lain ekspor beras ternyata menjadi bumerang yang dapat menyengsarakan di belakang hari. Bagaimana pun, ekspor bisa berpengaruh terhadap cadangan beras nasional. Terlebih jika ekspor dilakukan secara tidak menentu, sesuatu yang bukan tidak mungkin terjadi jika mengingat tingkat harga yang kini amat menggiurkan. Cadangan beras nasional pun bisa terkuras. Ini sungguh rentan karena bisa berdampak menggoyahkan ketahanan pangan di dalam negeri.  

Untuk itu sebaiknya melihat kembali situasi dan kondisi tentang perberasan kita. Apakah dengan produksi yang saat ini dikatakan melimpah, kita sudah pantas menjadi eksportir beras? Untuk menjawab itu, tentu kita harus melihat kebutuhan kita selama ini.

Berdasarkan perhitungan, produksi beras nasional tahun 2008 diprediksi akan mengalami surplus sekitar 2,3 juta ton. Namun, jumlah itu dinilai belum aman untuk cadangan nasional. Pasalnya, cadangan yang aman untuk satu bulan berada pada kisaran 2,6 juta ton-2,7 juta ton. Sementara itu, Thailand yang kita kenal sebagai pengekspor, mempunyai surplus 3 juta ton hingga 7 juta ton. Dengan perhitungan itu, tentu kita menjadi amat riskan bila memaksakan ekspor. Apalagi berdasarkan riset Badan Pusat Statistik (BPS), sebanyak 65% produksi beras nasional berasal dari masa musim raya yang berlangsung antara Maret-Mei. Kemudian, mulai menurun saat memasuki Juni-Agustus hingga puncaknya adalah musim paceklik mulai Oktober sampai Januari.

Biasanya, petani akan mengalami situasi sulit pada musim paceklik itu. Di saat harga beras tinggi akibat tingginya permintaan pasar, tetapi ternyata pihak yang mendapatkan manfaat adalah pedagang besar, bukan petani selaku produsen.

Penentuan Kebijakan Ekspor Beras

Mencermati hal itu, ada baiknya pemerintah duduk bersama membahas secara mendalam masalah ini. Kita tidak ingin peluang emas ekspor beras yang ada di depan mata ternyata berbuah kehancuran dan kesulitan bagi petani kita. Jika pun kita ingin berpihak kepada petani agar kesejahteraannya terus meningkat, sebaiknya dicarikan peluang pendanaan yang memungkinkan mereka menjadi tuannya di negeri sendiri. 

Lebih lanjut, masalah perbedaan harga di dalam dan luar negeri akan menyebabkan masalah penyelundupan dan penggelapan. Hal ini diindikasikan dari data PT Food Station Tjipinang Jaya—selaku BUMD perberasan Pemprov DKI Jakarta—sejak awal Maret 2008 terlihat permintaan beras antarpulau meningkat tajam. Bila pada pekan pertama Maret rata-rata permintaan beras antar pulau sekitar 150 ton per hari, pada pekan kedua naik jadi rata-rata 170 ton per hari. Pekan ketiga, permintaan beras naik lagi dan pada akhir Maret pengiriman sehari mencapai 356 ton. Ini tentu menjadi satu hal yang perlu diwaspadai.

B. Rumusan Masalah

Dari uraian diatas dapat kita ambil rumusan mengenai dilematika ekspor beras, baik berkaitan dengan sisi sosial masyarakat, peningkatan fungsi lembaga pangan, dan peningkatan kesejahteraan masyarakat petani. Masalah ini sangat layak dikaji dengan pola pandang manajemen perubahan, karena Sehingga dapat dirumuskan beberapa permasalahan

a. Sebenarnya pada kasus ini dimanakah letak organisasi yang mampu mewadahi kepentingan petani disatu sisi, dan konsumen disisi lain yang membutuhkan harga beras murah, seta ketahanan nasional yang tercermin dari ketahanan pangan.

b. Dimanakah saja letak entry gate to change kebijakan pangan indonesia yang berfokus pada kesejahteraan petani dan ketahanan pangan?

c. Bagaimanakah merubah input dan output organisasi sehingga mampu mengatasi permasalahan yang belum kelihatan dimasa kini (unobserved) namun terlihat dari beberapa indikator bahwa masalah ini akan muncul.

d. Bagaimanakah penerapan pengkodisian, pelaksanaan dan mempertahankan perubahan dapat dilakukan dalam kerangka masalah ini.

e. Bagaimanakah hubungan situasi tersebut diaplikasikan kepada pembangunan sistem baru yang lebih mengarah pada kesejahteraan bersama dengan mengaplikasikan metode intervensi strategik, struktural dan sumberdaya manusia.

f. Serta bagaimana manajemen perubahan dapat saling kait mengkaitkan antar komponen dalam konteks ini melalui pendekatan Complimentary analysis.

C. Kajian Konseptual Teoritis
Manajemen perubahan menekankan pengelolaan perubahan yang tidak liner, cepat, melibatkan inovasi, jaringan, enterprenuarlship, lintas bidang dan level, serta bertujuan pada perubahan menuju keadaan yang lebih baik. Konsep manajemen perubahan dalam organisasi tidak akan terlepas dari lapangan organiasional. Lapangan/ ranah organisasi didefinisikan oleh DiMaggio dan Powell (1983) sebagai “sekumpulan organisasi yang dalam pemebentukannya, melibatkan suatu kehidupan institusional: supplier kunci, sumberdaya dan produk, konsumen, agen regulator dan organisasi lain yang menciptakan barang yang sama.

Mengapa kondisi diatas layak dianalisa menggunakan konsep ini? Terdapat dua hal yang melatarbelakangi; pertama, yaiut permasalahan pangan merupakan permasalahan ketahanan nasional dan disini peran pemerintah adalah berusaha menyediakan bahan pangan bagi sebesar-besar kemakmuran masyarakat, jelas hal ini terkait dengan kebijakan institusionalisasi peraturan dan perundangan. Kedua, bahwa permasalahan pangan harus ditanggulangi oleh setidaknya empat pelaku organisasi yaitu petani (produsen), pemerintah (regulator), bulog dan pedagan (supplier) serta masyarakat banyak (produsen). Tentu saja kesemuanya mempunyai kepentingan yang relatif berbeda-beda satu dengan yang lain, sehingga organisasi disini harus mampu menjadi melting pot bagi keseluruhan aspirasi mereka. 

Lebih lanjut Hinnings, Greenwood, Reay dan Suddabay (2004) menyatakan bahwa perubahan organisasi meliputi lima elemen sirkulasi tahapan yang akan membentuk kembali suatu institusionalisasi perubahan dalam organisasi. Ada kecenderungan institusi cenderung berfokus pada kestabilan, namun ada beberapa kondisi yang menyebabkan mereka harus berubah. Kelima tahapan tersebut antara lain:

 1. Tekanan untuk berubah
Pada tahapan ini organisasi menerima tekanan yang secara kontekstual akan merubah institusi itu sendiri. Tekanan tersebut dapat datang dari luar, maupun karena adanya perubahan pola pikir pelaku organisasi terhadap perubahan lingkungan yang sedang terjadi. Pada tahapan ini tekanan dapat berupa tekanan politik ( distribusi kekuatan, aliansi dan perpecahan), fungsional (perubahan teknologi, permintaan dan penawaran) dan yang terakhir adalah sosial (perpecahan pandangan dan perubahan opini pelaku terhadap organisasi).

2. Sumber-sumber praktek baru

Tekanan menyebabkan perubahan, namun hal tersebut tidaklah cukup diperlukan sekumpulan alternatif untuk melakukan difusi antar komponen. Di tahapan ini diperlukan kemampuan institusional entrepreneurship yaitu perilaku pelaku yang mempunyai ketrampilan dansumberdaya yang melihat perubahan tersebut sebagai suatu tantangan yang memberikan peluang sehingga mereka dapat melakukan usaha untuk mencapai manfaat secara institusional maupun praktik.

3. Proses dan De- dan Re- institusionalisasi

Pada tahap ini diperlukan teorisasi, legitimisasi, dan disseminassi. Teorisasi merupakan pengembangan serta elaborasi rantai sebab akibat yang melibatkan pembuatan model tentang bagaimana praktek dan bentuk organisasi akan bekerja, serta menyediakan justifikasi bagaimana seharusnya organisasi berjalan saat sekarang dan masa depan. Legitimasi terkait dengan proses menghubungkan ide, bentuk dan praktek untuk membentuk nilai dan logika yang dipunyai aktor. Disseminasi terkait dengan peneybaran ideologi keseluruh organisasi melalui mekanisme koersive, normatif dan mimetic isomorphism (perlambang).

 4. Dinamika De- dan Re- institusionalisasi

Pada tahapan ini berbagai penyesuaian institusionalisasi akan mendapatkan ujiannya, karena dinamika de- dan re- institusionalisasi akan relatif membutuhkan waktu. Keberhasilan pada tahapan ini merujuk pada empat komponen yaitu; komitmen kelompok dalam organisasi terhadap nilai-nilai baru organisasi; seberapa besar ketertarikan pelaku terhadap manfaat perubahan; struktur kekuasaan organisasi; dan kapabilitas organisasi untuk mengimplementasikan perubahan. Kemmpat elemen tersebut akan berinteraksi dan mendisseminasi Adopsi perubahan.

 5. Re- institusionalisasi

Reinstitusionalisasi akan berlangsung ketika tingkat kepekatan Adopsi menyediakan suatu legitimasi kognitif yang menyebabkan para pelaku mengganggap proses perubahan sebagai suatu yang sudah biasa dan wajar pada setiap orang di tiap level organisasi.

Sehingga proses de- dan re- institusionalisasi berjalan secara simultan pada suatu organisasi, san akan berakhir pada re- institusionalisasi kembali model/cara organisasi baru untuk menuju kepada keadaan yang lebih baik. 

D. Perkembangan Kebijakan Ekspor Beras
 Wacana Ekspor Beras sebenarnya diungkapkan oleh Anton Supriyanto (MENPAN) beberapa bulan lalu, yang kemudian menjadi bahasan yang menarik perhatian semua kalangan. wacana tersebut kemudian memperoleh dukungan Mari elka Pangestu (Memperindag) serta Wapres Jusuf Kalla pada beberapa kesempatan. Dari sisi pemerhati masalah pertanian Bustanul Arifin pada mulanya memandang pesimistis terhadap impor karena adanya keraguan terhadap ramlan produksi beras BPS serta kepastian panen pada musim-musim kedepan. Pada tahapan ini terlihat bahwa tekanan terhadap kebijakan dikarenakan ada kepentingan politik (pemerintah untuk mendapatkan devisa), fungsional (peningkatan penawaran), sehingga dapat dikategorikan pada tahap ini organisasi pangan sedang mengalami tekanan politis dan fungsional.

pada tataran selanjutnya berbagai komentar pro dan kontra menghiasi media massa, sehingga pemerintah sendiri mempunyai kubu kontra (Susillo Bambang Yudhoyono) dan pro (beberapa pejabat tinggi negara lain) serta berbagai pemerhati masalah pangan (lihat tabel 2). Pada tahapan ini terjadi difusi dan pencampuran berbagai kepentingan pelaku organisasi dalam menentukan model / cara organisasi kedepan dalam menghadapi tantangan. Pada tahapan ini dapat dimasukkan ke dalam kategori De- dan Re institusionalisasi. 

Akhirnya pada tanggal 18/04/2008 atas berbagai desakan dan campuran kepentingan pemerintah menetapkan bahwa ekspor dapat dilakukan hanya ketika cadangan beras nasional lebih dari tiga juta ton. Aturan regulasinya baru akan keluar pada hari 1-2 hari setelahnya (lihat: http://www.detikfinance.com/index.php/detik.comment/tahun/2008/bulan/04/tgl/18/time/175749/idnews/925779/idkanal/4). 

Ketahanan Pangan dalam Konteks Manajemen Perubahan
Perubahan yang terjadi dalam organisasi ketahanan pangan melibatkan unsur pemerintah, petani, konsumen bulog dan supplier beras sebagai komponennya. Perubahan kondisi eksternal dan internal harus disikapi dengan arif demi mencapai sebaik-baik kemakmuran bagi seluruh rakyat indonesia. Dalam hal ini manajemen perubahan dapat melakukan solusi melalui peningkatan kualitas sumberdaya, produk, organisasi, proses dan produktivitas. Sehingga apa yang dicita-citakan bagi terwujudnya ketahanan pangan dapat menjadi bukan saja impian. Prinsip perubahan menciptakan perubahan-perubahan membentuk suatu organisasi harus terus mempertahankan semangat untuk berubah. 

Apabila tujuan dari perubahan adalah kemandirian pangan, perbaikan nasib petani dan meningkatnya nilai jual bahan agraris menjadi tujuan. Maka harus dilakukan usaha untuk membudayakan perubahan, melalui:

1. Rejuviasi Manusia
Yaitu usaha untuk mengembangkan sumberdaya manusia yang profesional, terlatih dan mempunyai sikap interpreneurship dan enterprenurship. Bagi para petani, maka mereka harus diberdayakan melalui berbagai pelatihan serta wawasan mengenai pertanian dan bagaimana memasarkanya sehingga hasil panen semakin produktif. Disisi konsumen mereka diharapkan menghargai produk melalui konsumsi produk dalam negeri.

2. Reaktualisasi Produk
Pasar dunia meminta kualitas, oleh karena itu pengembangan varietas-varietas baru untuk menghasilkan beras berkualitas ekspor layak untuk diusahakan. Hal ini demi menigkatkan cepat masa panen serta produksi beras untuk ekspor.

3. Reposisi Organisasi
Disisi ini pemerintah harus mengatur kebijakan yang berorientasi kesejahteraan masyarakat dan petani, baru setelah itu orientasi devisa negara dapat dilakukan. Strategi distribusi dan logistik pun mutlak dikonsepkan kembali untuk menanggulangi kemandekan pasokan, timpangnya nilai tawar Harga Pokok Pembelian (HPP) beras dari petani dan distribusi yang merata untuk pasokan beras di setiap daerah. 

Usaha pemberdayaan strategis tersebut seyogyanya mengambil momentum kenaikan harga beras dunia serta penginaktan produksi beras ini sebagai entry gate to change. Mengapa harus saat ini? Karena orientasi pemenuhan kebutuhan hidup saja, akan sulit meningkatkan pendapatan petani, sehingga para petani perlu wawasan agribisnis demi meningkatkan kesejahteraan mereka. 

Menerapkan Pola Manajemen Perubahan Pada Level Individu, Kelompok Dan Organisasi
Dalam mengkondisikan perubahan maka terdapat beberapa treatment yang harus dilakukan pada tiap level pelaku. Disini dibagi ke dalam tiga level yaitu level individu, kelompok dan organisasi.
 
1. Organisasi
Dalam hal ini maka organisasi ketahanan pangan masih belum melakukan struktur yang mengaplikasikan Good Governance hal tersebut terkait dengan manajemen yang baik, menentukan tujuan pasti, memastikan paradigma organisasi. Paradigma organisasi agraris haruslah berfokus pada pemenuhan kebutuhan masyarakat baru kemudian kepada pengejaran nilai ekspor. Pola-pola transaksi pembelian, subsidi dan pengaturan harga harus dijaga sebaik mungkin sehingga tidak ada yang merasa dirugikan. Fokus-fokus manajerial tersebut juga harus diimbangi dengan perubahan rutinitas organisasi menjadi lebih dinamis dan peka terhap perubahan lingkungan.

2. Kelompok
Pengkondisian pada tingkat ini harus mengedepankan kohesifitas organisasi, baik petani, pemerintah, supplier maupun konsumen. Oleh karena itu setiap kelompok/ komponen harus mendengarkan aspirasi dari pihak lain. Dalam hal ini pemerintah seyogyanya merespon terhadap aspirasi konsumen untuk dapat terjaga ketersediaan pangan, disisi petani mereka inigin HPP yang cukup untuk penghidupan, dan disisi pedagang supplier mereka ingin keuntungan dan kualitas. Apabila masing-masing pihak mendengarkan yang lain maka pencapaian tujuan akan menjadi lebih terintegrasi antar komponen organisasi. pentingnya disini adlah cutting the rutine of organization.

3. Individu 
Para petani mungkin menjadi manusia yang pada tataran disini nilai tawar nya begitu kecil, sehingga untuk menanggulangi hal tersebut haruslah dilakukan pendidikan dan pelatihan atas jiwa entrepreneur dan intrapreneur, sehingga faham akan jaringan organisasi (baik pola hubungan dengan pemerintah, maupun pedagang) serta memahami fluktuasi harga beras dipasaran internasional, sehingga tidak mudah ditipu oleh para tengkulak lokal. Pada gilirannya orientasi bertani bukan hanya memenuhi kebutuhan pokok sja, namun menjadi keinginan untuk menjadikan usaha tani sebagai usaha agribisnis yang mempunyai orientasi ekspor. 

Ketahanan Pangan Dalam Konteks Performance Networking Organization 
Meminjam dari teori Performance Networking Organization (PNO) dapat kita buat rajutan untaian hubungan antara setiap komponen organisasi pangan indonesia. PNO sendiri menekankan pada integrasi kemampuan setiap komponen sebagai kesatuan jaringan kinerja yang berlandaskan pada semangat championship, entrepreneurship dan interpreneurship, learning and teaching process dan sense tim yang tinggi, yang mengaplikasikan prinsip-prinsip cross functional dalam mengarahkan aktivitas organisasi sebagai integratively early warning system.

 


 


Sumber: Modifikasi Nugroho, Edi., 2008 MSi UGM 

Dalam mengaplikasikan konsep PNO ini dapat dilakukan melalui serangkaian pendefinisian masalah-masalah detail tiap komponen, kemudian integrasi masalah antar dua komponen dapat dilakukan untuk memperbaiki kinerja antar jaringan. Adapun ketahanan pangan Indonesia dapat terwujud melalui integrasi keempatnya, sehingga satu dengan yang lain mendengarkan, memperhatikan, mendukung, serta melengkapi kebutuhan dan mengurangi keterbatasan masing-masing komponen demi tujuan bersama yang lebih baik.

0 komentar:

About This Blog

Listen To This

  © Blogger template 'Blissful View' by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP