Kamis, 19 Juni 2008

KEPEMIMPINAN DALAM KONTEKS LINTAS-BUDAYA

KEPEMIMPINAN DALAM KONTEKS LINTAS-BUDAYA

A. Pendahuluan

Penelitian mengenai Kepemimpinan cukup rumit. Dimana tidak terdapat konsistensi dari definisi kepemimpinan itu sendiri, dan tidak ada penjelasan yang terang tentang batasan dari konstruk kepemimpinan. Terlebih ketika faktor budaya lintas negara dilibatkan dalam konsepsi tentang kepemimpinan. Hofstade (1998) menyatakan bahwa budaya seringkali tidak diaplikasikan secara layak dalam penelitian, karena terlalu sedikit justifikasi mengenai perbedaan budaya dan tidak ada model untuk mengidentifikasi perbedaan apa yang harusnya diharapkan. Lebih lanjut dalam artikel yang lain Drenth dan Den Hartog (1998)memberikan pertanyaan kritis mengenai budaya dan organisasi. Pertama, apakah organisasi di negara yang berbeda mempunyai karakteristik budaya yang secara konsisten berbeda, berbeda antar negara, dan konsisten dalam masing-masing negara. Kedua, apakah perbedaan ada karena perbedaan budaya, dan kesimpulan atas pertanyaan tersebut akan ditentukan oleh kerangka teori dan desain yang baku mengenai penelitian kepemimpinan antar-budaya.

B. Kepemimpinan Sebagai Pola Hubungan Universal
Apakah kepemimpinan merupakan sesuatu yang memuat nilai-nilai universal?. Dalam hal ini Bass (1997) telah mengkonseptualisasi Universalitas sebagai:

a. Variform functional universal. Yang terjadi ketika hubungan antara dua variabel selalu ditemukan, tetapi kekuatan hubungan berubah lintas budaya.

b. Systematic behavioural universal. Dimana merupakan suatu prinsip atau theory yang menjelaskan hubungan causal. Universalitas perilaku sistematis melibatkan teori yang mengklaim apakah (a) suatu penahapan dari perilaku adalah tidak bervariasi antar budaya, atau (b) struktur dan organisasi dari suatu perilaku atau cluster perilaku adalah tetap antar budaya.

Beberapa penelitian telah mengungkap adanya kerangka berpikir budaya sebagai sesuatu yang universal. Dorfman dkk. (1997) menemukan bukti parsial mengenai universalitas perilaku kepemimpinan dan bukti adanya kontigensi budaya. Sedangkan pada penelitian yang lain oleh Mellahi (2000) menemukan bahwa manajer dari daerah Asia dan Amerika yang telah menerima pendidikan MBA di Inggris yang menekankan pada pengajaran nilai-nilai kepemimpinan pada program-programnya, mempunyai persepsi yang konsisten mengenai nilai kepemimpinan tersebut.

C. Dimensi-dimensi budaya sosial dan penelitian kepemimpinan

Salah satu pendekatan untuk studi budaya adalah melalui identifikasi dan pengukuran dimensi budaya, dan beberapa tipologi orientasi nilai sosial budaya atau dimensi budaya pada saat ini telah dikembangkan. Pada bagian ini, akan dijelaskan mengenai beberapa penelitian dari berbagai peneliti mengenai dimensi budaya yang mempunyai pengaruh terhadap konsep kepemimpinan. Pandangan dari Hofstade akan menjadi acuan dalam mendiskusikan konsep budaya antar negara ini. Penelitian Hofstade ini didasarkan atas riset yang telah dilakukannya terhadap manajer dan karyawan IBM di lebih dari 40 negara. Hofstade dapat menyimpulkan terdapat empat dimensi budaya (individualisme-kolektivisme, maskulinitas-feminitas, penghindaran ketidakpastian dan jarak kekuasaan), sedangkan pada penelitiannya dia menambahkan dimensi yang terakhir (orientasi masa depan). Kerangka dimensi-dimensi budaya yang lain juga telah diusulkan oleh beberapa peneliti yang lain semacam Schawrts (1999) dan Trompenaars dkk. (1997).

Untuk lebih lanjut memahami dimensi budaya dan pengaruhnya terhadap kepemimpinan antar negara. Maka akan diuraikan beberapa hasil penelitian dan bukti-bukti yang mendukung bahwa terdapat nilai yang berbeda antar budaya dimana pemimpin berada.

1. Power distance

Kepemimpinan melibatkan pengaruh yang tinggi, dan pada bagian dunia manapun, peranan kepemimpinan diasosiasikan dengan kekuasaan dan status. Oleh karena itu, cara dimana kekuasaan dan status dibagi dalam budaya sosial adalah sangat relevan dengan peranan kepemimpinan. Hofstade (1980, 2001) mendefinisikan power distance (PD) sebagai sejauh mana lingkungan sosial menerima fakta bahwa kekuasaan dalam institusi dan organisasi didistribusikan secara tidak merata. Dalam budaya dengan perbedaan yang besar dalam kekuasaan antar individu, organisasi tampaknya akan secara tipikal mempunyai layers yang lebih dan rantai komando dirasakan sangat penting.

Disisi yang berseberangan Scharwts (1999) menyatakan bahwa distribusi kekuasaan yang tidak merata tersebut dikarenakan hal tersebut mendapatkan legitimasi dan memang sesuatu yang diharapkan. Sedangkan pada budaya yang egalitarian, melihat satu sama lain sebagai individu yang mempunyai nilai moral yang sama.

PD dan orientasi hierarkis mempunyai pengaruh pada kebijakan manajemen dalam organisasi. Dalam budaya dengan PD yang tinggi, anggota dengan status yang tinggi mendapatkan efficiacy yang berkaitan erat dengan pengukuran efficiacy kolektif dan kinerja dibandingkan dengan anggota dengan status yang lebih rendah. Namun, dalam budaya PD yang rendah, efficiacy per anggota berkaitan erat dengan efficacy yang diterima kelompok.

PD dalam lingkungan sosial juga terkait langsung dengan kepemimpinan. Sebagai contoh, bawahan dalam lingkungan sosial yang tinggi lebih merasa bimbang untuk berkonfrontasi dengan atasan merka dan lebih mempunyai rasa takut dalam menyatakan ketidaksetujuan terhadap manajer. (Adsit, London Crom, & Jones, 1997) PD juga mempunyai dampak terhadap ekspektasi dan preferensi bawahan terhadap kepemimpinan. Hal tersebut nampak dengan adanya harapan untuk mendapatkan pengarahan dari pimpinan ketika karyawan berada pada lingungan dengan PD yang tinggi. Tipe kepemimpinan autokratik lebih dapat diterima pada lingkungan ini.

Pada penelitian yang lain (Dorfman dkk., 1997) ditemukan bahwa kepemimpinan direktif memberikan hasil positif dalam hal kepuasan dan komitmen pada budaya dengan PD yang relatif tinggi. Sedangkan kepemimpinan partisipatif berdampak positif hanya pada budaya dengan PD yang rendah. Hal ini membuktikan adanya keterkaitan antara dimensi budaya dengan tipe-tipe kepemimpinan pada suatu konteks budaya. 

Dari beberapa penelitian tersebut dapat ditarik ringkasan bahwa PD dalam suatu lingkungan sosial mempunyai dampak atas beberapa aspek kepemimpinan. Orang lebih menyukai kepemimpinan yang lebih egalitarian ketika PD rendah. Ketika PD tinggi, pemimpin biasanya kurang partisipatif dan lebih autokratif dan direktif. Kepemimpinan direktif lebih efektif diterapkan pada konteks PD yang tinggi. Lebih lanjut, penekanan yang lebih mendalam pada peraturan dan prosedur akan semakin tampak ketika PD tinggi, dimana karyawan ingin mendapatkan panduan dan mendapatkan dukungan dari pihak otoritas sebelum melakukan suatu pekerjaan.

2. Penghindaran ketidakpastian

Penghindaran ketidakpastian (PK) merupakan dimensi lain yang diidentifikasi Hofstade. PK merujuk pada tingkat dimana seorang anggota dalam suatu lingkungan sosial merasa kurang nyaman dengan situasi yang membingungkan (ambiguous) dan tidak pasti, dan kemudian mencari jalan untuk menghindari hal tersebut. Hofstade(1999) mendefinisikan PK sebagai sejauh mana suatu masyarakat merasa terancam dengan situasi yang ambigu dan tidak pasti dan mencoba untuk menghindari situasi tersebut dengan percaya pada kebenaran yang absolut dan mendapatkan suatu keahlian, akan memberikan karir yang lebih stabil, hal tersebut menyebabkan peraturan-peraturan lebih stabil, dan menolak perilaku dan ide-ide yang berlawanan.

Lebih lanjut menurut penelitian Dorfmann, beberapa atribut yang melekat pada penghindaran ketidakpastian adalah, menjadikan sesuatu menjadi kebiasaan (habitual), prosedural, pengambilan resiko dan mampu membuat langkah-langkah antisipasi. Manajer dari negara dengan PK yang tinggi cenderung lebih mempunyai kontrol, tidak terlalu mendelegasikan sesuatu dan kurang pendekatan. Sedangkan hal tersebut berkebalikan dengan negara yang mempunyai PK yang rendah.

Pada penelitian yang lain (Shane dkk,. 1995) menemukan bahwa semakin tinggi tingkat PK dalam suatu masyarakat, semakin tinggi keinginan masyarakatnya untuk berinovasi melalui norma, peraturan dan prosedur kerja yang ada dalam suatu organisasi. Semakin tidak pasti suatu masyarakat, maka akan semakin banyak orang yang berinovasi diluar peraturan, norma dan prosedur dari organisasi yang mengalami inersia (inertia).

Sehingga dapat disimpulkan bahwa PK mempunyai dampak pada karakteristik yang diasosiasikan dengan kepemimpinan yang berhasil dan pola karier seorang pemimpin akan tergantung pada setting dimana ia berada. PK juga mempengaruhi harapan pemimpin terhadap bawahan. Dalam situasi dengan PK yang tinggi, perencanaan dan persetujuan yang mendetail adalah norma, dimana dalam konteks PK yang lebih rendah fleksibilitas dan inovasi lebih mendominasi.

3. Kolektivitas dan Individualisme


Dimensi budaya yang lain adalah Individualisme Vs. Kolektivisme (IK). Budaya dikarakteristikkan dengan individualisme ketika suatu masyarakat melakukan segala sesuatu dengan mandiri, mencari sesuatu sesuai dengan keinginan mereka sendiri dan mereka hanya dekat dengan keluarga dekat mereka. Suatu kerangka sosial yang kuat dan sangat kohesif merupakan ciri dari kolektivisme (Hofstade, 2001). Sedangkan Schawrts (1999) memandang realitas tersebut sebagai suatu perbedaan dalam masyarakat mengenai terpisah (autonomous) dan melekat (embedded) dalam suatu kelompok. Individu dalam budaya autonomous menganggap dirinya sebagai entitas yang terpisah yang menemukan makna hidup melalui pengalaman unik mereka sendiri. Sedangkan embedded yang tinggi berarti bahwa individu dianggap sebagai bagian dari kolektivitas dan menemukan makna dan arahan dalam hidup melalui partisipasi dalam kelompok dan mengidentifikasinya dengan tujuan. Dalam hal ini organisasi biasanya mengambil peran penuh akan tanggung jawab untuk para anggotanya dalam seluruh aspek kehidupan, loyalitas dan identifikasi diharapkan dalam situasi tersebut. 

Menurut Martella dan Mass (2000) IK memoderasi hubungan antara pengangguran dan kepuasan hidup yang lebih rendah, penghargaan akan diri, dan kegembiraan, hubungan tersebut akan semakin kuat untuk individualis daripada untuk golongan kolektif. Lebih lanjut menurut Gibbson (1999) efficiacy kelompok dan kinerja kelompok secara positif terkait ketika kolektivitas tinggi, tapi tidak berkorelasi ketika kolektifitas rendah.

Dalam kaitannya dengan kepemimpinan menurut Den Hartog dkk, 1999) menjadi seorang yang autonomous, unik dan independen akan membantu seseorang untuk menjadi seorang pemimpin yang berhasil, tetapi tidak disukai pada beberapa lingkup budaya. Lebih lanjut menurut Jung dan Avolio (1999) melalui manipulasi gaya kepemimpinan transaksional dan transformasional. Mereka membandingkan efek dari gaya yang berbeda tersebut pada kondisi tugas individu dan kelompok untuk menilai apakah terdapat dampak yang berbeda antara individualis dan kolektivis dalam melakukan brainstorming. Hasilnya, kolektifis dengan pemimpin yang transformasional akan menghasilkan ide-ide yang lebih banyak, sedangkan individualis akan menghasilkan ide yang lebih banyak dengan pemimpin yang transaksional.  

4. Maskulinitas dan Feminitas


Hofstade (1998, 2001) menjelaskan dimensi budaya yang lain, yang dinamakan Maskulinitas Vs. Feminitas. Maskulinitas di deskripsikan sebagai nilai dominan dalam sebuah komunitas yang menekankan pada assertiveness dan menjadi tangguh, obsesi mendapatkan uang dan obyek-obyek material lain, dan tidak terlalu memperhatikan orang lain, kualitas hidup, maupun kualitas hidup orang lain. Dalam budaya feminin, nilai-nilai semacam hubungan sosial yang hangat, kualitas hidup, dan perhatian terhadap kondisi orang lain yang lemah sangat ditekankan.

Lebih lanjut Hofstade (2001) menyatakan bahwa budaya maskulin dan feminin menciptakan tipe pemimpin pahlawan yang berbeda. Manajer yang heroik dalam budaya maskulin cenderung penentu (decisive), assertive, dan agresif. Sebaliknya dalam budaya feminim, istilah pahlawan kurang tampak, karena kepemimpinan dalam budaya ini adalah untuk mencari konsensus, intuitif dan kooperatif. Menurut penelitian GLOBE yang mengurai aspek Maskulinitas ke dalam bentuk pengukuran “egalitarisme gender”, “assertiveness”, “orientasi kerja”, dan “orientasi manusia”. Dalam budaya yang egaliter ditemukan pemimpin kharismatik yang mempunyai atribut semacam antusiasme, pandangan masa depan, dan pengorbanan diri. Sedangkan pada aspek assertiveness, ditemukan bahwa pada beberapa budaya semacam di amerika serikat, komunikasi tidak langsung (basa-basi) secara negatif berkorelasi dengan keinginan sosial, sedangkan pada budaya yang lain sikap berterus terang tersebut ditolak. Sedangkan sikap antusiasme ditemukan sangat bervariasi diantara budaya, dimana hal tersebut merefleksikan perbedaan kebiasaan yang berlaku terkait ekspresi emosi yang wajar. Pengklasifikasian didasarkan dari keyakinan atas kondisi dari realitas sosial yang ada dimana seorang pemimpin tersebut menghadapi resiko.

Menurut Adams (1995) karakteristik pemimpin, baik itu bersifat kolektif maupun individualis, akan mempunyai dampak pada pemilihan posisi ketika menghadapi resiko gambar 1:

1.Individualis: yang memprespektifkan dirinya sebagai seseorang yang mandiri, relatif bebas dari kontrol orang lain, dan berusaha untuk menggunakan kontrol pada lingkungan mereka dan orang-orang didalamnya. Pemimpin berkarakteristik entrepreneur yang berjiwa kapitalisme. Juga seorang pemimpin sebagai orang hebat atau pahlawan.

2.Hierarcist: yaitu seorang pemimpin yang berada dalam lingkungan dengan batasan kelompok yang kuat dan komando yang mengikat. Hubungan sosial pada model kepemimpinan ini. Hubungan sosial dalam pola ini adalah hirarkis. Kepemimpinan adalah tentang gaya atau bekerja berdasarkan kontrak atau transaksi. Pemimpin bergerak untuk mengatasi resiko berdasarkan containment, dengan peramalan resiko, dengan jaminan dan portfolio.

3.Egalitarians: mempunyai loyalitas kelompok tapi kurang menghormati peraturan-peraturan yang berasal dari luar organisasi. Pembuatan keputusan pada suatu kelompok diambil secara demokratis dan pemimpin memerintah dengan kekuatan kepribadian dan bujukan. Resiko dibagi dan kepemimpinan disini merupakan suatu transaksi dan transformasi.

4.Fatalis: mempunyai kontrol yang rendah atas diri mereka sendiri. Mereka tidak termasuk golongan manapun, dimana golongan-golongan tersebut mengatur jalan hidup mereka. Mereka tidak berkelompok. Mereka suka stabilitas dan tidak ingin merubah hal tersebut. Resiko dihindari dan kepemimpinan disini menjadi kehancuran diri.

Meskipun unsur-unsur budaya tersebut dibagi-bagi menjadi beberapa bagian, namun kesemua unsur tersebut mempunyai peran yang simultan dalam mempengaruhi pemimpin dan bawahan. Dari uraian diatas masih terdapat kerancuan satu dengan yang lain mengenai bagaimana menentukan cara yang terbaik dalam melakukan pendekatan yang layak untuk melihat dimensi-dimensi kepemimpinan dari sisi budaya.

D.Definisi Pemimpin Lintas-Budaya

Istilah kepemimpinan lintas-budaya cukup membingungkan, dimana pada satu sisi akan mengacu pada perpindahan orang dari satu budaya-ke budaya yang lain. Namun dapat juga merupakan perbandingan dari kepemimpinan pada suatu budaya tertentu dibandingkan dengan kepemimpinan di budaya yang lain.

Dalam salah satu artikel, Graen dan Hui (1999) berpendapat bahwa persepsi dari apa yang dimaksud sebagai pemimpin global pada saat ini akan berubah. Dimana saat ini pemimpin ditransfer dari satu lokasi ke lokasi lain. Maka yang akan muncul adalah “transcultural creative leaders”. Mereka merupakan orang-orang yang dapat belajar untuk:

1)Merubah (transcend) akulturasi masa kecilnya dan menghormati budaya-budaya yang berbeda; 

2)Membangun hubungan kerja lintas-budaya untuk kepercayaan, penghormatan dan kewajiban;

3)Terlibat dalam pemecahan masalah lintas budaya yang kreatif;

4)Ikut terlibat dalam konstruksi budaya ketiga dalam berbagai operasi kerjanya.

E.Konseptualisasi Pemimpin Lintas Budaya

Studi mengenai kepemimpinan relatif baru, dalam ranah bidang perilaku organisasi. Terlebih ketika kerangka budaya dimasukkan dalam konteks kepemimpinan. oleh karena itu dibutuhkan suatu konseptualisasi model kepemimpinan lintas budaya. Salah satu konseptualisasi telah ditawarkan oleh Dorfman (2003) yang menekankan pada dampak budaya pada kekuasaan pemimpin, karakteristik personal dari pemimpin, khususnya pada pencitraan diri pemimpin, dan pola interaksi antar pimpinan dan bawahan. Dampak budaya dirasakan melalui skema, naskah, dan prototype dari pemimpin dan bawahan. Lebih lanjut, citra yang diciptakan oleh pemimpin mungkin didorong oleh prototype pemimpin dan bawahan yang berhasil pada budaya setempat dimana ia berada. Model ini menyediakan kerangka yang dapat membantu dalam penelitian-penelitian maupun kajian kritis mengenai kepemimpinan lintas budaya.

Lebih lanjut Dorfman pun menggaris bawahi tentang beberapa hal yang perlu diperhitungkan dalam studi kepemimpinan lintas budaya. Terdapat empat hal yang perlu diperhatikan:

1)Budaya tidak statis, mereka dinamik dan secara terus menerus berevolusi.

2)Meskipun pengukuran dalam budaya dikategorikan antara rendah dan tinggi, namun orientasi dan perspektif semacam ini tidaklah cocok untuk semua karakteristik;

3)Setiap individu pasti merefleksikan nilai budaya yang berbeda-beda, mreka tidak selalu mencerminkan nilai indigenous budaya setempat.

4)Perbedaan antar budaya, negara, cluster budaya merupakan batasan yang harus diperhatikan.

Akhirnya, studi mengenai kepemimpinan lintas-budaya dalam tahap ini masih dalam tahap pengembangan. Terdapat banyak aspek yang belum dapat dikompromikan, dan perlu mendapatkan penjelasan yang lebih. Meskipun kerangka acuan model Hofstade telah menjadi panduan bagi peminat dalam studi ini. Namun kerangka konseptual yang lebih lengkap, yang memuat mengenai unit analisis, hubungan budaya setempat dengan atribut pemimpin, maupun keterkaitannya dengan tipe-tipe pemimpin transactional, transformational dan transcendental perlu diberikan ruang untuk penelitian lebih lanjut.

 

0 komentar:

About This Blog

Listen To This

  © Blogger template 'Blissful View' by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP