Kamis, 19 Juni 2008

Manajemen Perubahan: Analisis Kasus Kebijakan Ekspor Beras Dan Ketahanan Pangan

Manajemen Perubahan: Analisis Kasus Kebijakan Ekspor Beras Dan Ketahanan Pangan

 

A. Ringkasan Situasi
Akhir-akhir ini melonjaknya2 harga beras di pasaran internasional memicu munculnya wacana ekspor beras bagi Indonesia. Beberapa kelompok beranggapan bahwa masyarakat perlu memanfaatkan peluang itu karena produksi beras kita akan melimpah berkaitan dengan tibanya panen raya. Kita tidak memungkiri bahwa peluang itu kini ada di depan mata. Di pasar internasional, harga beras saat ini merupakan yang tertinggi sejak 34 tahun terakhir, yakni 700 dolar AS per metrik ton atau naik 50% dibandingkan dengan pada awal tahun. Harga beras Thailand bahkan sudah naik 72% pada periode yang sama.

Lonjakan harga tersebut tidak lepas dari wacana perubahan iklim dan konversi bahan baku makanan menjadi bahan bakar kendaraan (biofuel). Perubahan iklim telah mengancam pertumbuhan produksi di mana-mana, termasuk negara produsen beras seperti, China Vietnam, India, dan Thailand. Negara-negara tersebut mulai mengurangi ekspornya pada bulan ini, demi mengamankan cadangan beras di negaranya sendiri. Disisi lain permintaan juga dipicu oleh adanya konversi gandum, padi, minyak sawit dan tebu menjadi bahan bakar kendaraan di negra-negara eropa (lihat: http//:green-blog.com). Sehingga hal tersebut meningkatkan harga beli beras dunia seperti yang terlihat pada tabel 1 yang dikeluarkan oleh USDA (United states departement of agriculture). 
 

Tabel 1Harga Dunia Beras


  Sumber: WWW. Fsa.usda.gov

 Peluang dan Ancaman

Rencana ekspor beras mempunyai dampak positif dan negatif: dampak positif (peluang) terlihat dari produksi beras di dalam negeri surplus, yang berarti terjadi peningkatan kesejahteraan petani, peningkatan kemandirian bangsa, kesempatan mendapatkan devisa serta meningkatkan harkat martabat bangsa sebagai negara agraris yang cukup lama tidak merasakan manfaat dari harga jual bahan pangan yang cukup layak. Namun, disisi lain ekspor beras ternyata menjadi bumerang yang dapat menyengsarakan di belakang hari. Bagaimana pun, ekspor bisa berpengaruh terhadap cadangan beras nasional. Terlebih jika ekspor dilakukan secara tidak menentu, sesuatu yang bukan tidak mungkin terjadi jika mengingat tingkat harga yang kini amat menggiurkan. Cadangan beras nasional pun bisa terkuras. Ini sungguh rentan karena bisa berdampak menggoyahkan ketahanan pangan di dalam negeri.  

Untuk itu sebaiknya melihat kembali situasi dan kondisi tentang perberasan kita. Apakah dengan produksi yang saat ini dikatakan melimpah, kita sudah pantas menjadi eksportir beras? Untuk menjawab itu, tentu kita harus melihat kebutuhan kita selama ini.

Berdasarkan perhitungan, produksi beras nasional tahun 2008 diprediksi akan mengalami surplus sekitar 2,3 juta ton. Namun, jumlah itu dinilai belum aman untuk cadangan nasional. Pasalnya, cadangan yang aman untuk satu bulan berada pada kisaran 2,6 juta ton-2,7 juta ton. Sementara itu, Thailand yang kita kenal sebagai pengekspor, mempunyai surplus 3 juta ton hingga 7 juta ton. Dengan perhitungan itu, tentu kita menjadi amat riskan bila memaksakan ekspor. Apalagi berdasarkan riset Badan Pusat Statistik (BPS), sebanyak 65% produksi beras nasional berasal dari masa musim raya yang berlangsung antara Maret-Mei. Kemudian, mulai menurun saat memasuki Juni-Agustus hingga puncaknya adalah musim paceklik mulai Oktober sampai Januari.

Biasanya, petani akan mengalami situasi sulit pada musim paceklik itu. Di saat harga beras tinggi akibat tingginya permintaan pasar, tetapi ternyata pihak yang mendapatkan manfaat adalah pedagang besar, bukan petani selaku produsen.

Penentuan Kebijakan Ekspor Beras

Mencermati hal itu, ada baiknya pemerintah duduk bersama membahas secara mendalam masalah ini. Kita tidak ingin peluang emas ekspor beras yang ada di depan mata ternyata berbuah kehancuran dan kesulitan bagi petani kita. Jika pun kita ingin berpihak kepada petani agar kesejahteraannya terus meningkat, sebaiknya dicarikan peluang pendanaan yang memungkinkan mereka menjadi tuannya di negeri sendiri. 

Lebih lanjut, masalah perbedaan harga di dalam dan luar negeri akan menyebabkan masalah penyelundupan dan penggelapan. Hal ini diindikasikan dari data PT Food Station Tjipinang Jaya—selaku BUMD perberasan Pemprov DKI Jakarta—sejak awal Maret 2008 terlihat permintaan beras antarpulau meningkat tajam. Bila pada pekan pertama Maret rata-rata permintaan beras antar pulau sekitar 150 ton per hari, pada pekan kedua naik jadi rata-rata 170 ton per hari. Pekan ketiga, permintaan beras naik lagi dan pada akhir Maret pengiriman sehari mencapai 356 ton. Ini tentu menjadi satu hal yang perlu diwaspadai.

B. Rumusan Masalah

Dari uraian diatas dapat kita ambil rumusan mengenai dilematika ekspor beras, baik berkaitan dengan sisi sosial masyarakat, peningkatan fungsi lembaga pangan, dan peningkatan kesejahteraan masyarakat petani. Masalah ini sangat layak dikaji dengan pola pandang manajemen perubahan, karena Sehingga dapat dirumuskan beberapa permasalahan

a. Sebenarnya pada kasus ini dimanakah letak organisasi yang mampu mewadahi kepentingan petani disatu sisi, dan konsumen disisi lain yang membutuhkan harga beras murah, seta ketahanan nasional yang tercermin dari ketahanan pangan.

b. Dimanakah saja letak entry gate to change kebijakan pangan indonesia yang berfokus pada kesejahteraan petani dan ketahanan pangan?

c. Bagaimanakah merubah input dan output organisasi sehingga mampu mengatasi permasalahan yang belum kelihatan dimasa kini (unobserved) namun terlihat dari beberapa indikator bahwa masalah ini akan muncul.

d. Bagaimanakah penerapan pengkodisian, pelaksanaan dan mempertahankan perubahan dapat dilakukan dalam kerangka masalah ini.

e. Bagaimanakah hubungan situasi tersebut diaplikasikan kepada pembangunan sistem baru yang lebih mengarah pada kesejahteraan bersama dengan mengaplikasikan metode intervensi strategik, struktural dan sumberdaya manusia.

f. Serta bagaimana manajemen perubahan dapat saling kait mengkaitkan antar komponen dalam konteks ini melalui pendekatan Complimentary analysis.

C. Kajian Konseptual Teoritis
Manajemen perubahan menekankan pengelolaan perubahan yang tidak liner, cepat, melibatkan inovasi, jaringan, enterprenuarlship, lintas bidang dan level, serta bertujuan pada perubahan menuju keadaan yang lebih baik. Konsep manajemen perubahan dalam organisasi tidak akan terlepas dari lapangan organiasional. Lapangan/ ranah organisasi didefinisikan oleh DiMaggio dan Powell (1983) sebagai “sekumpulan organisasi yang dalam pemebentukannya, melibatkan suatu kehidupan institusional: supplier kunci, sumberdaya dan produk, konsumen, agen regulator dan organisasi lain yang menciptakan barang yang sama.

Mengapa kondisi diatas layak dianalisa menggunakan konsep ini? Terdapat dua hal yang melatarbelakangi; pertama, yaiut permasalahan pangan merupakan permasalahan ketahanan nasional dan disini peran pemerintah adalah berusaha menyediakan bahan pangan bagi sebesar-besar kemakmuran masyarakat, jelas hal ini terkait dengan kebijakan institusionalisasi peraturan dan perundangan. Kedua, bahwa permasalahan pangan harus ditanggulangi oleh setidaknya empat pelaku organisasi yaitu petani (produsen), pemerintah (regulator), bulog dan pedagan (supplier) serta masyarakat banyak (produsen). Tentu saja kesemuanya mempunyai kepentingan yang relatif berbeda-beda satu dengan yang lain, sehingga organisasi disini harus mampu menjadi melting pot bagi keseluruhan aspirasi mereka. 

Lebih lanjut Hinnings, Greenwood, Reay dan Suddabay (2004) menyatakan bahwa perubahan organisasi meliputi lima elemen sirkulasi tahapan yang akan membentuk kembali suatu institusionalisasi perubahan dalam organisasi. Ada kecenderungan institusi cenderung berfokus pada kestabilan, namun ada beberapa kondisi yang menyebabkan mereka harus berubah. Kelima tahapan tersebut antara lain:

 1. Tekanan untuk berubah
Pada tahapan ini organisasi menerima tekanan yang secara kontekstual akan merubah institusi itu sendiri. Tekanan tersebut dapat datang dari luar, maupun karena adanya perubahan pola pikir pelaku organisasi terhadap perubahan lingkungan yang sedang terjadi. Pada tahapan ini tekanan dapat berupa tekanan politik ( distribusi kekuatan, aliansi dan perpecahan), fungsional (perubahan teknologi, permintaan dan penawaran) dan yang terakhir adalah sosial (perpecahan pandangan dan perubahan opini pelaku terhadap organisasi).

2. Sumber-sumber praktek baru

Tekanan menyebabkan perubahan, namun hal tersebut tidaklah cukup diperlukan sekumpulan alternatif untuk melakukan difusi antar komponen. Di tahapan ini diperlukan kemampuan institusional entrepreneurship yaitu perilaku pelaku yang mempunyai ketrampilan dansumberdaya yang melihat perubahan tersebut sebagai suatu tantangan yang memberikan peluang sehingga mereka dapat melakukan usaha untuk mencapai manfaat secara institusional maupun praktik.

3. Proses dan De- dan Re- institusionalisasi

Pada tahap ini diperlukan teorisasi, legitimisasi, dan disseminassi. Teorisasi merupakan pengembangan serta elaborasi rantai sebab akibat yang melibatkan pembuatan model tentang bagaimana praktek dan bentuk organisasi akan bekerja, serta menyediakan justifikasi bagaimana seharusnya organisasi berjalan saat sekarang dan masa depan. Legitimasi terkait dengan proses menghubungkan ide, bentuk dan praktek untuk membentuk nilai dan logika yang dipunyai aktor. Disseminasi terkait dengan peneybaran ideologi keseluruh organisasi melalui mekanisme koersive, normatif dan mimetic isomorphism (perlambang).

 4. Dinamika De- dan Re- institusionalisasi

Pada tahapan ini berbagai penyesuaian institusionalisasi akan mendapatkan ujiannya, karena dinamika de- dan re- institusionalisasi akan relatif membutuhkan waktu. Keberhasilan pada tahapan ini merujuk pada empat komponen yaitu; komitmen kelompok dalam organisasi terhadap nilai-nilai baru organisasi; seberapa besar ketertarikan pelaku terhadap manfaat perubahan; struktur kekuasaan organisasi; dan kapabilitas organisasi untuk mengimplementasikan perubahan. Kemmpat elemen tersebut akan berinteraksi dan mendisseminasi Adopsi perubahan.

 5. Re- institusionalisasi

Reinstitusionalisasi akan berlangsung ketika tingkat kepekatan Adopsi menyediakan suatu legitimasi kognitif yang menyebabkan para pelaku mengganggap proses perubahan sebagai suatu yang sudah biasa dan wajar pada setiap orang di tiap level organisasi.

Sehingga proses de- dan re- institusionalisasi berjalan secara simultan pada suatu organisasi, san akan berakhir pada re- institusionalisasi kembali model/cara organisasi baru untuk menuju kepada keadaan yang lebih baik. 

D. Perkembangan Kebijakan Ekspor Beras
 Wacana Ekspor Beras sebenarnya diungkapkan oleh Anton Supriyanto (MENPAN) beberapa bulan lalu, yang kemudian menjadi bahasan yang menarik perhatian semua kalangan. wacana tersebut kemudian memperoleh dukungan Mari elka Pangestu (Memperindag) serta Wapres Jusuf Kalla pada beberapa kesempatan. Dari sisi pemerhati masalah pertanian Bustanul Arifin pada mulanya memandang pesimistis terhadap impor karena adanya keraguan terhadap ramlan produksi beras BPS serta kepastian panen pada musim-musim kedepan. Pada tahapan ini terlihat bahwa tekanan terhadap kebijakan dikarenakan ada kepentingan politik (pemerintah untuk mendapatkan devisa), fungsional (peningkatan penawaran), sehingga dapat dikategorikan pada tahap ini organisasi pangan sedang mengalami tekanan politis dan fungsional.

pada tataran selanjutnya berbagai komentar pro dan kontra menghiasi media massa, sehingga pemerintah sendiri mempunyai kubu kontra (Susillo Bambang Yudhoyono) dan pro (beberapa pejabat tinggi negara lain) serta berbagai pemerhati masalah pangan (lihat tabel 2). Pada tahapan ini terjadi difusi dan pencampuran berbagai kepentingan pelaku organisasi dalam menentukan model / cara organisasi kedepan dalam menghadapi tantangan. Pada tahapan ini dapat dimasukkan ke dalam kategori De- dan Re institusionalisasi. 

Akhirnya pada tanggal 18/04/2008 atas berbagai desakan dan campuran kepentingan pemerintah menetapkan bahwa ekspor dapat dilakukan hanya ketika cadangan beras nasional lebih dari tiga juta ton. Aturan regulasinya baru akan keluar pada hari 1-2 hari setelahnya (lihat: http://www.detikfinance.com/index.php/detik.comment/tahun/2008/bulan/04/tgl/18/time/175749/idnews/925779/idkanal/4). 

Ketahanan Pangan dalam Konteks Manajemen Perubahan
Perubahan yang terjadi dalam organisasi ketahanan pangan melibatkan unsur pemerintah, petani, konsumen bulog dan supplier beras sebagai komponennya. Perubahan kondisi eksternal dan internal harus disikapi dengan arif demi mencapai sebaik-baik kemakmuran bagi seluruh rakyat indonesia. Dalam hal ini manajemen perubahan dapat melakukan solusi melalui peningkatan kualitas sumberdaya, produk, organisasi, proses dan produktivitas. Sehingga apa yang dicita-citakan bagi terwujudnya ketahanan pangan dapat menjadi bukan saja impian. Prinsip perubahan menciptakan perubahan-perubahan membentuk suatu organisasi harus terus mempertahankan semangat untuk berubah. 

Apabila tujuan dari perubahan adalah kemandirian pangan, perbaikan nasib petani dan meningkatnya nilai jual bahan agraris menjadi tujuan. Maka harus dilakukan usaha untuk membudayakan perubahan, melalui:

1. Rejuviasi Manusia
Yaitu usaha untuk mengembangkan sumberdaya manusia yang profesional, terlatih dan mempunyai sikap interpreneurship dan enterprenurship. Bagi para petani, maka mereka harus diberdayakan melalui berbagai pelatihan serta wawasan mengenai pertanian dan bagaimana memasarkanya sehingga hasil panen semakin produktif. Disisi konsumen mereka diharapkan menghargai produk melalui konsumsi produk dalam negeri.

2. Reaktualisasi Produk
Pasar dunia meminta kualitas, oleh karena itu pengembangan varietas-varietas baru untuk menghasilkan beras berkualitas ekspor layak untuk diusahakan. Hal ini demi menigkatkan cepat masa panen serta produksi beras untuk ekspor.

3. Reposisi Organisasi
Disisi ini pemerintah harus mengatur kebijakan yang berorientasi kesejahteraan masyarakat dan petani, baru setelah itu orientasi devisa negara dapat dilakukan. Strategi distribusi dan logistik pun mutlak dikonsepkan kembali untuk menanggulangi kemandekan pasokan, timpangnya nilai tawar Harga Pokok Pembelian (HPP) beras dari petani dan distribusi yang merata untuk pasokan beras di setiap daerah. 

Usaha pemberdayaan strategis tersebut seyogyanya mengambil momentum kenaikan harga beras dunia serta penginaktan produksi beras ini sebagai entry gate to change. Mengapa harus saat ini? Karena orientasi pemenuhan kebutuhan hidup saja, akan sulit meningkatkan pendapatan petani, sehingga para petani perlu wawasan agribisnis demi meningkatkan kesejahteraan mereka. 

Menerapkan Pola Manajemen Perubahan Pada Level Individu, Kelompok Dan Organisasi
Dalam mengkondisikan perubahan maka terdapat beberapa treatment yang harus dilakukan pada tiap level pelaku. Disini dibagi ke dalam tiga level yaitu level individu, kelompok dan organisasi.
 
1. Organisasi
Dalam hal ini maka organisasi ketahanan pangan masih belum melakukan struktur yang mengaplikasikan Good Governance hal tersebut terkait dengan manajemen yang baik, menentukan tujuan pasti, memastikan paradigma organisasi. Paradigma organisasi agraris haruslah berfokus pada pemenuhan kebutuhan masyarakat baru kemudian kepada pengejaran nilai ekspor. Pola-pola transaksi pembelian, subsidi dan pengaturan harga harus dijaga sebaik mungkin sehingga tidak ada yang merasa dirugikan. Fokus-fokus manajerial tersebut juga harus diimbangi dengan perubahan rutinitas organisasi menjadi lebih dinamis dan peka terhap perubahan lingkungan.

2. Kelompok
Pengkondisian pada tingkat ini harus mengedepankan kohesifitas organisasi, baik petani, pemerintah, supplier maupun konsumen. Oleh karena itu setiap kelompok/ komponen harus mendengarkan aspirasi dari pihak lain. Dalam hal ini pemerintah seyogyanya merespon terhadap aspirasi konsumen untuk dapat terjaga ketersediaan pangan, disisi petani mereka inigin HPP yang cukup untuk penghidupan, dan disisi pedagang supplier mereka ingin keuntungan dan kualitas. Apabila masing-masing pihak mendengarkan yang lain maka pencapaian tujuan akan menjadi lebih terintegrasi antar komponen organisasi. pentingnya disini adlah cutting the rutine of organization.

3. Individu 
Para petani mungkin menjadi manusia yang pada tataran disini nilai tawar nya begitu kecil, sehingga untuk menanggulangi hal tersebut haruslah dilakukan pendidikan dan pelatihan atas jiwa entrepreneur dan intrapreneur, sehingga faham akan jaringan organisasi (baik pola hubungan dengan pemerintah, maupun pedagang) serta memahami fluktuasi harga beras dipasaran internasional, sehingga tidak mudah ditipu oleh para tengkulak lokal. Pada gilirannya orientasi bertani bukan hanya memenuhi kebutuhan pokok sja, namun menjadi keinginan untuk menjadikan usaha tani sebagai usaha agribisnis yang mempunyai orientasi ekspor. 

Ketahanan Pangan Dalam Konteks Performance Networking Organization 
Meminjam dari teori Performance Networking Organization (PNO) dapat kita buat rajutan untaian hubungan antara setiap komponen organisasi pangan indonesia. PNO sendiri menekankan pada integrasi kemampuan setiap komponen sebagai kesatuan jaringan kinerja yang berlandaskan pada semangat championship, entrepreneurship dan interpreneurship, learning and teaching process dan sense tim yang tinggi, yang mengaplikasikan prinsip-prinsip cross functional dalam mengarahkan aktivitas organisasi sebagai integratively early warning system.

 


 


Sumber: Modifikasi Nugroho, Edi., 2008 MSi UGM 

Dalam mengaplikasikan konsep PNO ini dapat dilakukan melalui serangkaian pendefinisian masalah-masalah detail tiap komponen, kemudian integrasi masalah antar dua komponen dapat dilakukan untuk memperbaiki kinerja antar jaringan. Adapun ketahanan pangan Indonesia dapat terwujud melalui integrasi keempatnya, sehingga satu dengan yang lain mendengarkan, memperhatikan, mendukung, serta melengkapi kebutuhan dan mengurangi keterbatasan masing-masing komponen demi tujuan bersama yang lebih baik.

KEPEMIMPINAN DALAM KONTEKS LINTAS-BUDAYA

KEPEMIMPINAN DALAM KONTEKS LINTAS-BUDAYA

A. Pendahuluan

Penelitian mengenai Kepemimpinan cukup rumit. Dimana tidak terdapat konsistensi dari definisi kepemimpinan itu sendiri, dan tidak ada penjelasan yang terang tentang batasan dari konstruk kepemimpinan. Terlebih ketika faktor budaya lintas negara dilibatkan dalam konsepsi tentang kepemimpinan. Hofstade (1998) menyatakan bahwa budaya seringkali tidak diaplikasikan secara layak dalam penelitian, karena terlalu sedikit justifikasi mengenai perbedaan budaya dan tidak ada model untuk mengidentifikasi perbedaan apa yang harusnya diharapkan. Lebih lanjut dalam artikel yang lain Drenth dan Den Hartog (1998)memberikan pertanyaan kritis mengenai budaya dan organisasi. Pertama, apakah organisasi di negara yang berbeda mempunyai karakteristik budaya yang secara konsisten berbeda, berbeda antar negara, dan konsisten dalam masing-masing negara. Kedua, apakah perbedaan ada karena perbedaan budaya, dan kesimpulan atas pertanyaan tersebut akan ditentukan oleh kerangka teori dan desain yang baku mengenai penelitian kepemimpinan antar-budaya.

B. Kepemimpinan Sebagai Pola Hubungan Universal
Apakah kepemimpinan merupakan sesuatu yang memuat nilai-nilai universal?. Dalam hal ini Bass (1997) telah mengkonseptualisasi Universalitas sebagai:

a. Variform functional universal. Yang terjadi ketika hubungan antara dua variabel selalu ditemukan, tetapi kekuatan hubungan berubah lintas budaya.

b. Systematic behavioural universal. Dimana merupakan suatu prinsip atau theory yang menjelaskan hubungan causal. Universalitas perilaku sistematis melibatkan teori yang mengklaim apakah (a) suatu penahapan dari perilaku adalah tidak bervariasi antar budaya, atau (b) struktur dan organisasi dari suatu perilaku atau cluster perilaku adalah tetap antar budaya.

Beberapa penelitian telah mengungkap adanya kerangka berpikir budaya sebagai sesuatu yang universal. Dorfman dkk. (1997) menemukan bukti parsial mengenai universalitas perilaku kepemimpinan dan bukti adanya kontigensi budaya. Sedangkan pada penelitian yang lain oleh Mellahi (2000) menemukan bahwa manajer dari daerah Asia dan Amerika yang telah menerima pendidikan MBA di Inggris yang menekankan pada pengajaran nilai-nilai kepemimpinan pada program-programnya, mempunyai persepsi yang konsisten mengenai nilai kepemimpinan tersebut.

C. Dimensi-dimensi budaya sosial dan penelitian kepemimpinan

Salah satu pendekatan untuk studi budaya adalah melalui identifikasi dan pengukuran dimensi budaya, dan beberapa tipologi orientasi nilai sosial budaya atau dimensi budaya pada saat ini telah dikembangkan. Pada bagian ini, akan dijelaskan mengenai beberapa penelitian dari berbagai peneliti mengenai dimensi budaya yang mempunyai pengaruh terhadap konsep kepemimpinan. Pandangan dari Hofstade akan menjadi acuan dalam mendiskusikan konsep budaya antar negara ini. Penelitian Hofstade ini didasarkan atas riset yang telah dilakukannya terhadap manajer dan karyawan IBM di lebih dari 40 negara. Hofstade dapat menyimpulkan terdapat empat dimensi budaya (individualisme-kolektivisme, maskulinitas-feminitas, penghindaran ketidakpastian dan jarak kekuasaan), sedangkan pada penelitiannya dia menambahkan dimensi yang terakhir (orientasi masa depan). Kerangka dimensi-dimensi budaya yang lain juga telah diusulkan oleh beberapa peneliti yang lain semacam Schawrts (1999) dan Trompenaars dkk. (1997).

Untuk lebih lanjut memahami dimensi budaya dan pengaruhnya terhadap kepemimpinan antar negara. Maka akan diuraikan beberapa hasil penelitian dan bukti-bukti yang mendukung bahwa terdapat nilai yang berbeda antar budaya dimana pemimpin berada.

1. Power distance

Kepemimpinan melibatkan pengaruh yang tinggi, dan pada bagian dunia manapun, peranan kepemimpinan diasosiasikan dengan kekuasaan dan status. Oleh karena itu, cara dimana kekuasaan dan status dibagi dalam budaya sosial adalah sangat relevan dengan peranan kepemimpinan. Hofstade (1980, 2001) mendefinisikan power distance (PD) sebagai sejauh mana lingkungan sosial menerima fakta bahwa kekuasaan dalam institusi dan organisasi didistribusikan secara tidak merata. Dalam budaya dengan perbedaan yang besar dalam kekuasaan antar individu, organisasi tampaknya akan secara tipikal mempunyai layers yang lebih dan rantai komando dirasakan sangat penting.

Disisi yang berseberangan Scharwts (1999) menyatakan bahwa distribusi kekuasaan yang tidak merata tersebut dikarenakan hal tersebut mendapatkan legitimasi dan memang sesuatu yang diharapkan. Sedangkan pada budaya yang egalitarian, melihat satu sama lain sebagai individu yang mempunyai nilai moral yang sama.

PD dan orientasi hierarkis mempunyai pengaruh pada kebijakan manajemen dalam organisasi. Dalam budaya dengan PD yang tinggi, anggota dengan status yang tinggi mendapatkan efficiacy yang berkaitan erat dengan pengukuran efficiacy kolektif dan kinerja dibandingkan dengan anggota dengan status yang lebih rendah. Namun, dalam budaya PD yang rendah, efficiacy per anggota berkaitan erat dengan efficacy yang diterima kelompok.

PD dalam lingkungan sosial juga terkait langsung dengan kepemimpinan. Sebagai contoh, bawahan dalam lingkungan sosial yang tinggi lebih merasa bimbang untuk berkonfrontasi dengan atasan merka dan lebih mempunyai rasa takut dalam menyatakan ketidaksetujuan terhadap manajer. (Adsit, London Crom, & Jones, 1997) PD juga mempunyai dampak terhadap ekspektasi dan preferensi bawahan terhadap kepemimpinan. Hal tersebut nampak dengan adanya harapan untuk mendapatkan pengarahan dari pimpinan ketika karyawan berada pada lingungan dengan PD yang tinggi. Tipe kepemimpinan autokratik lebih dapat diterima pada lingkungan ini.

Pada penelitian yang lain (Dorfman dkk., 1997) ditemukan bahwa kepemimpinan direktif memberikan hasil positif dalam hal kepuasan dan komitmen pada budaya dengan PD yang relatif tinggi. Sedangkan kepemimpinan partisipatif berdampak positif hanya pada budaya dengan PD yang rendah. Hal ini membuktikan adanya keterkaitan antara dimensi budaya dengan tipe-tipe kepemimpinan pada suatu konteks budaya. 

Dari beberapa penelitian tersebut dapat ditarik ringkasan bahwa PD dalam suatu lingkungan sosial mempunyai dampak atas beberapa aspek kepemimpinan. Orang lebih menyukai kepemimpinan yang lebih egalitarian ketika PD rendah. Ketika PD tinggi, pemimpin biasanya kurang partisipatif dan lebih autokratif dan direktif. Kepemimpinan direktif lebih efektif diterapkan pada konteks PD yang tinggi. Lebih lanjut, penekanan yang lebih mendalam pada peraturan dan prosedur akan semakin tampak ketika PD tinggi, dimana karyawan ingin mendapatkan panduan dan mendapatkan dukungan dari pihak otoritas sebelum melakukan suatu pekerjaan.

2. Penghindaran ketidakpastian

Penghindaran ketidakpastian (PK) merupakan dimensi lain yang diidentifikasi Hofstade. PK merujuk pada tingkat dimana seorang anggota dalam suatu lingkungan sosial merasa kurang nyaman dengan situasi yang membingungkan (ambiguous) dan tidak pasti, dan kemudian mencari jalan untuk menghindari hal tersebut. Hofstade(1999) mendefinisikan PK sebagai sejauh mana suatu masyarakat merasa terancam dengan situasi yang ambigu dan tidak pasti dan mencoba untuk menghindari situasi tersebut dengan percaya pada kebenaran yang absolut dan mendapatkan suatu keahlian, akan memberikan karir yang lebih stabil, hal tersebut menyebabkan peraturan-peraturan lebih stabil, dan menolak perilaku dan ide-ide yang berlawanan.

Lebih lanjut menurut penelitian Dorfmann, beberapa atribut yang melekat pada penghindaran ketidakpastian adalah, menjadikan sesuatu menjadi kebiasaan (habitual), prosedural, pengambilan resiko dan mampu membuat langkah-langkah antisipasi. Manajer dari negara dengan PK yang tinggi cenderung lebih mempunyai kontrol, tidak terlalu mendelegasikan sesuatu dan kurang pendekatan. Sedangkan hal tersebut berkebalikan dengan negara yang mempunyai PK yang rendah.

Pada penelitian yang lain (Shane dkk,. 1995) menemukan bahwa semakin tinggi tingkat PK dalam suatu masyarakat, semakin tinggi keinginan masyarakatnya untuk berinovasi melalui norma, peraturan dan prosedur kerja yang ada dalam suatu organisasi. Semakin tidak pasti suatu masyarakat, maka akan semakin banyak orang yang berinovasi diluar peraturan, norma dan prosedur dari organisasi yang mengalami inersia (inertia).

Sehingga dapat disimpulkan bahwa PK mempunyai dampak pada karakteristik yang diasosiasikan dengan kepemimpinan yang berhasil dan pola karier seorang pemimpin akan tergantung pada setting dimana ia berada. PK juga mempengaruhi harapan pemimpin terhadap bawahan. Dalam situasi dengan PK yang tinggi, perencanaan dan persetujuan yang mendetail adalah norma, dimana dalam konteks PK yang lebih rendah fleksibilitas dan inovasi lebih mendominasi.

3. Kolektivitas dan Individualisme


Dimensi budaya yang lain adalah Individualisme Vs. Kolektivisme (IK). Budaya dikarakteristikkan dengan individualisme ketika suatu masyarakat melakukan segala sesuatu dengan mandiri, mencari sesuatu sesuai dengan keinginan mereka sendiri dan mereka hanya dekat dengan keluarga dekat mereka. Suatu kerangka sosial yang kuat dan sangat kohesif merupakan ciri dari kolektivisme (Hofstade, 2001). Sedangkan Schawrts (1999) memandang realitas tersebut sebagai suatu perbedaan dalam masyarakat mengenai terpisah (autonomous) dan melekat (embedded) dalam suatu kelompok. Individu dalam budaya autonomous menganggap dirinya sebagai entitas yang terpisah yang menemukan makna hidup melalui pengalaman unik mereka sendiri. Sedangkan embedded yang tinggi berarti bahwa individu dianggap sebagai bagian dari kolektivitas dan menemukan makna dan arahan dalam hidup melalui partisipasi dalam kelompok dan mengidentifikasinya dengan tujuan. Dalam hal ini organisasi biasanya mengambil peran penuh akan tanggung jawab untuk para anggotanya dalam seluruh aspek kehidupan, loyalitas dan identifikasi diharapkan dalam situasi tersebut. 

Menurut Martella dan Mass (2000) IK memoderasi hubungan antara pengangguran dan kepuasan hidup yang lebih rendah, penghargaan akan diri, dan kegembiraan, hubungan tersebut akan semakin kuat untuk individualis daripada untuk golongan kolektif. Lebih lanjut menurut Gibbson (1999) efficiacy kelompok dan kinerja kelompok secara positif terkait ketika kolektivitas tinggi, tapi tidak berkorelasi ketika kolektifitas rendah.

Dalam kaitannya dengan kepemimpinan menurut Den Hartog dkk, 1999) menjadi seorang yang autonomous, unik dan independen akan membantu seseorang untuk menjadi seorang pemimpin yang berhasil, tetapi tidak disukai pada beberapa lingkup budaya. Lebih lanjut menurut Jung dan Avolio (1999) melalui manipulasi gaya kepemimpinan transaksional dan transformasional. Mereka membandingkan efek dari gaya yang berbeda tersebut pada kondisi tugas individu dan kelompok untuk menilai apakah terdapat dampak yang berbeda antara individualis dan kolektivis dalam melakukan brainstorming. Hasilnya, kolektifis dengan pemimpin yang transformasional akan menghasilkan ide-ide yang lebih banyak, sedangkan individualis akan menghasilkan ide yang lebih banyak dengan pemimpin yang transaksional.  

4. Maskulinitas dan Feminitas


Hofstade (1998, 2001) menjelaskan dimensi budaya yang lain, yang dinamakan Maskulinitas Vs. Feminitas. Maskulinitas di deskripsikan sebagai nilai dominan dalam sebuah komunitas yang menekankan pada assertiveness dan menjadi tangguh, obsesi mendapatkan uang dan obyek-obyek material lain, dan tidak terlalu memperhatikan orang lain, kualitas hidup, maupun kualitas hidup orang lain. Dalam budaya feminin, nilai-nilai semacam hubungan sosial yang hangat, kualitas hidup, dan perhatian terhadap kondisi orang lain yang lemah sangat ditekankan.

Lebih lanjut Hofstade (2001) menyatakan bahwa budaya maskulin dan feminin menciptakan tipe pemimpin pahlawan yang berbeda. Manajer yang heroik dalam budaya maskulin cenderung penentu (decisive), assertive, dan agresif. Sebaliknya dalam budaya feminim, istilah pahlawan kurang tampak, karena kepemimpinan dalam budaya ini adalah untuk mencari konsensus, intuitif dan kooperatif. Menurut penelitian GLOBE yang mengurai aspek Maskulinitas ke dalam bentuk pengukuran “egalitarisme gender”, “assertiveness”, “orientasi kerja”, dan “orientasi manusia”. Dalam budaya yang egaliter ditemukan pemimpin kharismatik yang mempunyai atribut semacam antusiasme, pandangan masa depan, dan pengorbanan diri. Sedangkan pada aspek assertiveness, ditemukan bahwa pada beberapa budaya semacam di amerika serikat, komunikasi tidak langsung (basa-basi) secara negatif berkorelasi dengan keinginan sosial, sedangkan pada budaya yang lain sikap berterus terang tersebut ditolak. Sedangkan sikap antusiasme ditemukan sangat bervariasi diantara budaya, dimana hal tersebut merefleksikan perbedaan kebiasaan yang berlaku terkait ekspresi emosi yang wajar. Pengklasifikasian didasarkan dari keyakinan atas kondisi dari realitas sosial yang ada dimana seorang pemimpin tersebut menghadapi resiko.

Menurut Adams (1995) karakteristik pemimpin, baik itu bersifat kolektif maupun individualis, akan mempunyai dampak pada pemilihan posisi ketika menghadapi resiko gambar 1:

1.Individualis: yang memprespektifkan dirinya sebagai seseorang yang mandiri, relatif bebas dari kontrol orang lain, dan berusaha untuk menggunakan kontrol pada lingkungan mereka dan orang-orang didalamnya. Pemimpin berkarakteristik entrepreneur yang berjiwa kapitalisme. Juga seorang pemimpin sebagai orang hebat atau pahlawan.

2.Hierarcist: yaitu seorang pemimpin yang berada dalam lingkungan dengan batasan kelompok yang kuat dan komando yang mengikat. Hubungan sosial pada model kepemimpinan ini. Hubungan sosial dalam pola ini adalah hirarkis. Kepemimpinan adalah tentang gaya atau bekerja berdasarkan kontrak atau transaksi. Pemimpin bergerak untuk mengatasi resiko berdasarkan containment, dengan peramalan resiko, dengan jaminan dan portfolio.

3.Egalitarians: mempunyai loyalitas kelompok tapi kurang menghormati peraturan-peraturan yang berasal dari luar organisasi. Pembuatan keputusan pada suatu kelompok diambil secara demokratis dan pemimpin memerintah dengan kekuatan kepribadian dan bujukan. Resiko dibagi dan kepemimpinan disini merupakan suatu transaksi dan transformasi.

4.Fatalis: mempunyai kontrol yang rendah atas diri mereka sendiri. Mereka tidak termasuk golongan manapun, dimana golongan-golongan tersebut mengatur jalan hidup mereka. Mereka tidak berkelompok. Mereka suka stabilitas dan tidak ingin merubah hal tersebut. Resiko dihindari dan kepemimpinan disini menjadi kehancuran diri.

Meskipun unsur-unsur budaya tersebut dibagi-bagi menjadi beberapa bagian, namun kesemua unsur tersebut mempunyai peran yang simultan dalam mempengaruhi pemimpin dan bawahan. Dari uraian diatas masih terdapat kerancuan satu dengan yang lain mengenai bagaimana menentukan cara yang terbaik dalam melakukan pendekatan yang layak untuk melihat dimensi-dimensi kepemimpinan dari sisi budaya.

D.Definisi Pemimpin Lintas-Budaya

Istilah kepemimpinan lintas-budaya cukup membingungkan, dimana pada satu sisi akan mengacu pada perpindahan orang dari satu budaya-ke budaya yang lain. Namun dapat juga merupakan perbandingan dari kepemimpinan pada suatu budaya tertentu dibandingkan dengan kepemimpinan di budaya yang lain.

Dalam salah satu artikel, Graen dan Hui (1999) berpendapat bahwa persepsi dari apa yang dimaksud sebagai pemimpin global pada saat ini akan berubah. Dimana saat ini pemimpin ditransfer dari satu lokasi ke lokasi lain. Maka yang akan muncul adalah “transcultural creative leaders”. Mereka merupakan orang-orang yang dapat belajar untuk:

1)Merubah (transcend) akulturasi masa kecilnya dan menghormati budaya-budaya yang berbeda; 

2)Membangun hubungan kerja lintas-budaya untuk kepercayaan, penghormatan dan kewajiban;

3)Terlibat dalam pemecahan masalah lintas budaya yang kreatif;

4)Ikut terlibat dalam konstruksi budaya ketiga dalam berbagai operasi kerjanya.

E.Konseptualisasi Pemimpin Lintas Budaya

Studi mengenai kepemimpinan relatif baru, dalam ranah bidang perilaku organisasi. Terlebih ketika kerangka budaya dimasukkan dalam konteks kepemimpinan. oleh karena itu dibutuhkan suatu konseptualisasi model kepemimpinan lintas budaya. Salah satu konseptualisasi telah ditawarkan oleh Dorfman (2003) yang menekankan pada dampak budaya pada kekuasaan pemimpin, karakteristik personal dari pemimpin, khususnya pada pencitraan diri pemimpin, dan pola interaksi antar pimpinan dan bawahan. Dampak budaya dirasakan melalui skema, naskah, dan prototype dari pemimpin dan bawahan. Lebih lanjut, citra yang diciptakan oleh pemimpin mungkin didorong oleh prototype pemimpin dan bawahan yang berhasil pada budaya setempat dimana ia berada. Model ini menyediakan kerangka yang dapat membantu dalam penelitian-penelitian maupun kajian kritis mengenai kepemimpinan lintas budaya.

Lebih lanjut Dorfman pun menggaris bawahi tentang beberapa hal yang perlu diperhitungkan dalam studi kepemimpinan lintas budaya. Terdapat empat hal yang perlu diperhatikan:

1)Budaya tidak statis, mereka dinamik dan secara terus menerus berevolusi.

2)Meskipun pengukuran dalam budaya dikategorikan antara rendah dan tinggi, namun orientasi dan perspektif semacam ini tidaklah cocok untuk semua karakteristik;

3)Setiap individu pasti merefleksikan nilai budaya yang berbeda-beda, mreka tidak selalu mencerminkan nilai indigenous budaya setempat.

4)Perbedaan antar budaya, negara, cluster budaya merupakan batasan yang harus diperhatikan.

Akhirnya, studi mengenai kepemimpinan lintas-budaya dalam tahap ini masih dalam tahap pengembangan. Terdapat banyak aspek yang belum dapat dikompromikan, dan perlu mendapatkan penjelasan yang lebih. Meskipun kerangka acuan model Hofstade telah menjadi panduan bagi peminat dalam studi ini. Namun kerangka konseptual yang lebih lengkap, yang memuat mengenai unit analisis, hubungan budaya setempat dengan atribut pemimpin, maupun keterkaitannya dengan tipe-tipe pemimpin transactional, transformational dan transcendental perlu diberikan ruang untuk penelitian lebih lanjut.

 



EARLY WARNING SYSTEM REFORMASI MANAJEMEN PENDIDIKAN TINGGI

Lingkungan Internal dan Eksternal

Belakangan ini sejumlah PTN di Indonesia dihadapkan pada kenyataan bahwa reformasi pendidikan tinggi merupakan keharusan. Apabila hanya dilihat dari segi analisis pasar, memang benar bahwa permintaan pasar akan jasa perguruan tinggi domestik masih tetap akan mengalir, baik untuk jasa pendidikan, konsultasi maupun SDM lulusannya. Sehingga dapat dianggap bahwa pangsa pasar domestik tetap akan mempunyai permintaan terhadap PT lokal. Namun apabila kita memandang lebih jauh ke dalam konteks regional dan internasional, maka jelas bahwa kedudukan pendidikan tinggi di Indonesia cukup terpuruk dengan memakai indikator universitas unggulan kita tanpa bisa masuk ke jajaran 50 besar peringkat universitas terbaik dunia. 

Hal tersebut diperparah lagi dengan masalah globalisasi yang mengancam keberadaan perguruan tinggi lokal. Hal tersebut ditunjukkan dengan mulai maraknya pembukaan cabang-cabang universitas asing di Indonesia. Tentu hal tersebut tidak menjadi masalah ketika perguruan tinggi kita mampu mengimbangi dan memberikan pelayanan dan kualitas yang sepadan, namun kenyataan di lapangan memberikan bukti bahwa universitas-universitas lokal belum mampu memberikan pelayanan yang memadai.

Pada sisi yang lain permasalahan menjadi lebih rumit ketika PTN-PTN yang menyandang nama besar merasa telah cukup, dan menjadi raksasa tidur yang puas akan keunggulan komparatifnya. sedangkan universitas-universitas di luar negeri terus membangun kualitas pelayanannya terhadap masyarakat serta meningkatkan kontribusinya bagi bangsa dan ilmu pengetahuan. Bahkan untuk universitas swasta sendiri keadaan menjadi lebih parah lagi, ketika keunggulan komparatif PTN hanya digunakan untuk tujuan jangka pendek semata. Alih-alih tidak berusaha untuk meningkatkan mutunya, namun malah membuat kelimpungan PTS-PTS yang ada di daerah. Fenomena tersebut dapat dilihat dari dibukanya berbagai kelas-kelas jauh yang menawarkan kemudahan perolehan gelar, serta pembukaan kelas ekstensi dan berbagai program yang mengacu pada kuantitas, bukan kualitas. Hal ini tentu memprihatinkan bagi kondisi perguruan tinggi kita. Oleh karena itu reformasi perguruan tinggi perlu dilakukan baik terhadap manajemennya, Sumberdaya manusianya, budayanya serta kontribusinya terhadap masyarakat dan bangsa perlu ditingkatkan.

Tantangan Baru dunia Pendidikan Tinggi

Uraian diatas dapat menjadi gambaran akan situasi perguruan tinggi kita. Namun hal tersebut dapat menjadi ancaman apabila PT kita tidak segera bergerak, namun juga dapat menjadi peluang bagi PT yang dapat secara adaptatif memenuhi tuntutan zaman. Hal tersebut berlaku baik bagi PTN maupun PTS yang ingin meningkatkan pelayanannya terhadap masyarakat dan berkontribusi terhadap ilmu pengetahuan.

Sistem ekonomi sekarang lebih bertumpu terhadap ilmu pengetahuan (Knowledge based economy). Sistem ekonomi ini bergeser dari sistem ekonomi tradisional ke sistem ekonomi baru yang bertumpu pada industri jasa yang tidak nyata (intangible), karena titik beratnya pada produksi informasi dan ilmu pengetahuan (Riady, 2004). dalam kerangka ini, kecepatan dan ketepatan menjadi amat penting. Perkembangan teknologi sebagai faktor sistem ekonomi modern pun mempengaruhi pengembangan disiplin ilmu, dimana pada tataran selanjutnya universitas sebagai pihak yang mempunyai keharusan untuk menjadi agen knowledge transfer dapat mengikuti perkembangan tersebut. Sebagai contoh fakultas hukum harus mulai merambah ranah kebijakan-kebijakan untuk mengatasi cyber crime. Ataupun bidang-bidang lain semacam manajemen harus mulai mengadopsi pelayanan real time (mis. ATM, E-ticketing dsb) sebagai bagian kurikulum pelajaran di universitas.


Oleh karena itu kebutuhan akan manajemen yang lebih baik untuk menjamin berjalannya good corporate governance mutlak diperlukan untuk menjamin lulusan PT mampu menghadapi persaingan pasar kerja yang semakin ketat baik di tingkat nasional maupun internasional. Untuk mewujudkan hal tersebut sistem manajemen perlu mangalami proses digitalisasi baik dalam hal akademik maupun non akademik, maupun melalui pengembangan perguruan tinggi sebagai center of excellent dan pusat riset dalam pengembangan ilmu-ilmu pengetahuan unggulan. 

Berbagai masalah tersebut apabila ditelisik lebih lanjut dapat dicoba untuk dikategorikan menjadi tiga bagian yaitu:

a.Iklim. Persaingan pelayanan jasa pendidikan tidak mendapatkan perhatian dari pemerintah dengan memberikan ketegasan terhadap peraturan-peraturan yang sudah dikeluarkan, semacam ketegasan tentang akreditasi perguruan tinggi, pembukaan kelas-kelas jauh serta peraturan terhadap pengabdian yang harus dilakukan oleh staf akademik. Iklim tersebut pada tampaknya lebih mementingkan kuantitas daripada kualitas. 

b.Budaya. Budaya organisasi yang dipunyai PTN lebih berkesan mereka mengoperasikannya sebagai organisasi publik, yang sebenarnya dapat dikelola dengan meminjam sistem manajemen industrial, sehingga pendanaan bukan hanya didapatkan dari dana mahasiswa, namun kemampuan untuk menciptakan paten-paten yang menyumbang dana, serta adanya pelayanan konsultasi bagi pihak yang membutuhkan. Keterbatasan terhadap budaya penelitian dan pengabdian masyarakat tampaknya kurang menjadi perhatian. Dari sisi staf terdapat kecenderungan bahwa dosen melakukan pekerjaan diluar tugas akademiknya, tentu hal ini akan mengurangi perhatiannya terhadap proses belajar mengajar dan penelitian yang seharusnya dilakukan. Memang hal tersebut dilakukan oleh staf karena adanya kurangnya insentif yang diterimanya. Sehingga dapat dikatakan bahwa sumber permasalahan ini tentu berujung pada masalah pendanaan.

c.Sistem. Dari sistem ini dapat dibedakan menjadi dua hal yaitu: sistem teknologi informasi dan prosedur kebijakan yang ada dalam suatu PT. Sistem teknologi informasi yang terkait dengan penyediaan hardware, software serta komunikasi dapat menjadi penghalang bagi terlaksananya kegiatan akademik (mis. penyediaan sumber-sumber bacaan jurnal elektronik, e-library dsb), maupun non akademik (administrasi). Yang kedua adalah kebijakan dan prosedur yang berhubungan dengan jalur operasi, keberlangsungan bisnis serta corporate governance.

Lebih lanjut Martin (2006 ) mengungkapkan bahwa terdapat tiga ancaman terhadap sekolah-sekolah yang hanya menekankan kepada fasilitas pengajaran, sehingga perlu perbaikan dengan jalan kolaborasi dengan perusahaan,serta menciptakan pengajaran berbasis e-learning pada basis global. Lebih lanjut hal tersebut membutuhkan:

a.Akses terhadap ilmu pengetahuan inovatif

b.Kebutuhan akan SDM yang berpengengetahuan

c.Kebutuhan akan kemampuan untuk mengabsorbsi ilmu pengetahunan baru kedalam produksi jasa dan barang yang berguna.

Early Warning System melalui General Check up

Ibarat anatomi biologis, sistem manajemen perguruan tinggi rupanya perlu dilakukan general check up secara rutin. Serperti halnya anatomi biologis, general check up bertujuan untuk mengetahui kondisi elemen-elemen tubuh secara akurat sehingga dapat dilakukan terapi yang sesuai dengan realitas.

Menurut Riady (2004) terdapat 12 elemen yang mesti dicek secara rutin karena sangat bertalian dengan kinerja universitas. Elemen elemen tersebut dapat berhubungan dengan kesalahan manusia, sistem informasi teknologi maupun kebijakan dan prosedur yang dijalankan. Adapun keduabelas elemen tersebut adalah

1.Tidak jelasnya definisi masalah

2.Tidak jelasnya identifikasi masalah

3. Tidak seimbangnya neraca keuangan harian

4.Kesalahan audit

5.Symptom tuanya korporasi (corporate aging symptom)

6.Problematika IT

7.Variasi anggaran antara unit dalam perguruan tinggi

8.Prosedur yang berbelit-belit

9.Jaringan operasi yang tidak wajar dan layak

10.Budaya yang belum terbarui

11.Staf yang dibayar rendah namun mau menetap

12.Staf yang tidak mau dipindah

Dengan memetakan elemen-elemen tersebut diatas dengan mengkaitkannya dengan sumber kesalahan-kesalahan, maka sistem peringatan dini untuk melakukan perubahan hendaknya perlu segera diinisiasi. Menurut saya pribadi dengan menggunakan matrik semacam ini(matriks general check up Riady 2004. Hal. 223), EWS dapat secara intended dan prosedural dilakukan dengan tanpa meninggalkan peran penting EWS yang dimunculkan oleh anggota organisasi. sistem ini lebih mengarah terhadap otomasisi EWS terhadap perbaikan dan perubahan yang perlu dilakukan terhadap keberlangsungan manajemen perguruan tinggi. Perubahan yang membutuhkan perbaikan dalam konsep Incrementalism dengan bantuan dua mekanisme ini seyogyanya dapat menjadi pertimbangan bagi para pengelola Perguruan tinggi di Indonesia.


REFERENSI

Riady, Mochatar., 2004 “Nanotechnology management style” Penerbitan Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia.

Martin, Greme., 2006 “Managing people and organization in Changing context” Elsevier.

Nugroho, Edi., MBA. 2008 “Catatan kuliah sumberdaya manusia”. MSi UGM

Minggu, 30 Desember 2007

first page

halaman-halam blog ini akan berisi catatan-catatan saya baik dari bangku kuliah, maupun tulisan-tulisan lepas saya.

About This Blog

Listen To This

  © Blogger template 'Blissful View' by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP